(Cerita dari Saonek bagian 3)
BICARA
Raja
Ampat, benak kita seolah otomatis membayangkan pantai yang indah, biota laut
yang kaya, dan senyum warga Papua. Yang terbayang seperti sempurna saja.
Padahal, Raja Ampat juga masih banyak kekurangan. Terutama, dari segi pendidikan
dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Gugusan pulau di Pianemo. |
Seperti yang
dituturkan Martha, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Raja
Ampat termasuk kabupaten baru. Terdiri atas seribu pulau. Benar-benar seribu
pulau, bukan sekedar kiasan. ’’Kita potensi wisata sudah mendunia. Tapi SDM
belum memadai. Jadinya ya hanya bisa nonton saja,’’ kata dia.
Martha (kiri),
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Raja Ampat, didampingi stafnya.
|
Jarak pulau yang
berjauhan itu jadi hambatan. Akarnya, biaya BBM kendala terbesar. Sebab, untuk
menyebrang pulau saja butuh minimal Rp 200 ribu. Martha mengungkapkan, setiap
distribusi soal ujian sekolah, menghabiskan Rp 60 juta hanya untuk biaya BBM.
Meski begitu,
jumlah guru sudah memadai. Hanya penyebarannya tidak merata. Dari tingkat SD
sampai SMA, diisi oleh 800 tenaga pendidik. Kabupaten ini juga terbantu dengan
kehadiran guru-guru SM3T. Namun, Martha mengaku jumlah tersebut masih kurang. Bahkan,
dia meminta Kemenristek-Dikti menambah jumlah guru SM3T untuk disebar di 107 SD
di Raja Ampat. ’’Saya ingin usul, semua SD diisi guru-guru SM3T saja,’’
ucapnya.
Di Kabupaten
Raja Ampat, paling kurang memang guru SD. Untuk mengatasi jumlah guru yang
tidak merata, teknis pengajaran pun ada strateginya. Disdik menggunakan pola
IPA/IPS Terpadu. Artinya, satu guru mengajar dua sampai tiga mata pelajaran.
Belum lagi
kelengkapan buku pelajaran yang minim. Salah satu guru SMPN 1 Saonek, Khairil
Muhammad mengaku, cukup sulit mengajar tanpa buku. Dia sendiri mengajar dua
mata pelajaran, yakni PKN dan Agama Islam. Setiap mengajar agama, Khairil
membuat materi sendiri, karena tidak ada buku. ’’Kalau tidak ada pegangan gitu,
anak-anak malas belajar,’’ ungkap pria asal Maluku ini.
Anak-anak di SDN 1 Saonek. |
Di sisi lain,
kesadaran guru-guru terhadap hak pendidikan para murid juga belum baik. Seperti
pengakuan para murid SMP Saonek, beberapa guru seringkali pulang duluan. Akhirnya
mereka terpaksa harus menjalani jam kosong di tengah waktu belajar. Tapi,
disdik punya hukuman bagi guru yang ‘korupsi waktu’ seperti itu. ’’Kalau guru
malas mengajar, gajinya kami blokir,’’ tandas Martha.
Supaya keinginan
belajar anak-anak di Raja Ampat meningkat, disdik punya program khusus. Setiap
tahun, disdik akan memberi bantuan finansial sebesar Rp 5 juta untuk mahasiswa
Papua yang kuliah D3 Ekowisata.
***
Sementara itu,
alumnus SM3T yang pernah mengabdi di Saonek, Asmardi
Jaya mengatakan, penjelasan Kadisdik Raja Ampat memang banyak benarnya. Namun,
alangkah lebih baik jika kepala dinas survey juga ke lapangan untuk mengetahui
kondisi pendidikan di wilayah yang dia pimpin. ’’Kepala dinasnya sendiri tidak
pernah ke Saonek. Padahal ini pulau paling dekat (dari pusat kantor dinas
pendidikan),’’ ucapnya.
Saya sedih
dengernya.
Jujur, menurut
saya, anak-anak Papua itu pintar-pintar. Mereka bisa ‘mengalahkan’ anak-anak
dari Pulau Jawa kalau memang mau dan ada kesempatan. Baik secara akademis
maupun yang lainnya. Belum lagi sikap mereka yang santun. Duuh, Indonesia pasti
akan sangat bangga.
Hanya saja, menurut
saya kendala utamanya ada di insfrastruktur. Seperti kata teman saya Sylvie
Tanaga, datang ke Papua kesannya satu: mereka seperti dibiarkan untuk bodoh.
Padahal? Oh mereka pintar-pintar. Sangat cerdas. Plus santun. Kalau
insfrastruktur di Papua sudah seperti di Pulau Jawa, wah bisa jadi Papua makin
padat karena sasaran investasi dan SDM yang sudah baik.
Tapi memang setiap daerah
berbeda-beda. Di Papua Barat yang sebagian besarnya daerah pesisir, penduduknya
lebih welcome terhadap pendatang.
Nggak heran kalau kamu main ke sana, pasti banyak ketemu orang Bugis, Maluku,
Sulawesi, Ambon, bahkan orang dari Pulau Jawa. Belum lagi bule-bule yang datang
untuk berwisata. Beda lagi kalau kamu main ke daerah pegunungan, seperti
Jayawijaya dan sebagainya. Di sana malah ada daerah yang nggak tahu bahwa ada profesi
bernama dokter di dunia ini. Saking jauhnya permukiman mereka dari peradaban.
Jadi kendala kedua
itu adalah penduduknya sendiri. Ada yang menerima bantuan dari orang lain, ada
juga yang menolak. Teman saya pernah cerita waktu datang ke daerah pelosok di
Papua membawa buku-buku. Niatnya sebetulnya baik, untuk meningkatkan minat baca
di sana. Tapi ditolak oleh penduduk setempat dengan kasar.
“Untuk apa kau
datang bawa buku! Kitorang tak butuh buku! Kitorang butuh makan!” kata penduduk
di sana sambil bawa parang.
Buset dah.
Serem ya.
Cuman ya itu dia.
Bukan salah mereka tidak tahu pentingnya buku. Karena memang dari kecil tahunya
hidup buat cari makan dan bertahan hidup di hutan atau gunung, bukan yang lain.
Nah, tugas kita yang tinggal di Pulau lain di Indonesia untuk bisa membuat
mereka berpikir mengenai pentingnya pendidikan. Caranya?
Itu PR bersama.
Kondisi sejumlah ruang kelas di SMPN 1 Saonek. Banyak yang hancur dan
rusak, namun tidak ada tanda-tanda akan diperbaiki.
|
(*/bersambung)
No comments:
Post a Comment