Pages

Tuesday 22 December 2015

BBM, SDM, dan Seribu Pulau

(Cerita dari Saonek bagian 3)

BICARA Raja Ampat, benak kita seolah otomatis membayangkan pantai yang indah, biota laut yang kaya, dan senyum warga Papua. Yang terbayang seperti sempurna saja. Padahal, Raja Ampat juga masih banyak kekurangan. Terutama, dari segi pendidikan dan Sumber Daya Manusia (SDM).

Gugusan pulau di Pianemo.

Seperti yang dituturkan Martha, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Raja Ampat termasuk kabupaten baru. Terdiri atas seribu pulau. Benar-benar seribu pulau, bukan sekedar kiasan. ’’Kita potensi wisata sudah mendunia. Tapi SDM belum memadai. Jadinya ya hanya bisa nonton saja,’’ kata dia.


Martha (kiri), Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Raja Ampat, didampingi stafnya.
 Pulau ada seribu, tapi yang berpenghuni hanya 40. Adapun pulau yang besar ada empat. Yakni, Misool, Batanta, Bianci, dan Waigeo. Misool termasuk paling jauh. Jadwal kapal besar ke sana hanya satu minggu sekali. Lama perjalanan dari pusat kota bisa memakan waktu seharian. Jika ada rapat guru di kota, sekolah tutup. Ongkos ke Misool juga relatif mahal. Mulai Rp 500 ribu sampai Rp 600 ribu per kepala.

Jarak pulau yang berjauhan itu jadi hambatan. Akarnya, biaya BBM kendala terbesar. Sebab, untuk menyebrang pulau saja butuh minimal Rp 200 ribu. Martha mengungkapkan, setiap distribusi soal ujian sekolah, menghabiskan Rp 60 juta hanya untuk biaya BBM.

Meski begitu, jumlah guru sudah memadai. Hanya penyebarannya tidak merata. Dari tingkat SD sampai SMA, diisi oleh 800 tenaga pendidik. Kabupaten ini juga terbantu dengan kehadiran guru-guru SM3T. Namun, Martha mengaku jumlah tersebut masih kurang. Bahkan, dia meminta Kemenristek-Dikti menambah jumlah guru SM3T untuk disebar di 107 SD di Raja Ampat. ’’Saya ingin usul, semua SD diisi guru-guru SM3T saja,’’ ucapnya.

Di Kabupaten Raja Ampat, paling kurang memang guru SD. Untuk mengatasi jumlah guru yang tidak merata, teknis pengajaran pun ada strateginya. Disdik menggunakan pola IPA/IPS Terpadu. Artinya, satu guru mengajar dua sampai tiga mata pelajaran.
Belum lagi kelengkapan buku pelajaran yang minim. Salah satu guru SMPN 1 Saonek, Khairil Muhammad mengaku, cukup sulit mengajar tanpa buku. Dia sendiri mengajar dua mata pelajaran, yakni PKN dan Agama Islam. Setiap mengajar agama, Khairil membuat materi sendiri, karena tidak ada buku. ’’Kalau tidak ada pegangan gitu, anak-anak malas belajar,’’ ungkap pria asal Maluku ini.

Anak-anak di SDN 1 Saonek.

Di sisi lain, kesadaran guru-guru terhadap hak pendidikan para murid juga belum baik. Seperti pengakuan para murid SMP Saonek, beberapa guru seringkali pulang duluan. Akhirnya mereka terpaksa harus menjalani jam kosong di tengah waktu belajar. Tapi, disdik punya hukuman bagi guru yang ‘korupsi waktu’ seperti itu. ’’Kalau guru malas mengajar, gajinya kami blokir,’’ tandas Martha.
Supaya keinginan belajar anak-anak di Raja Ampat meningkat, disdik punya program khusus. Setiap tahun, disdik akan memberi bantuan finansial sebesar Rp 5 juta untuk mahasiswa Papua yang kuliah D3 Ekowisata.

***
Sementara itu, alumnus SM3T yang pernah mengabdi di Saonek, Asmardi Jaya mengatakan, penjelasan Kadisdik Raja Ampat memang banyak benarnya. Namun, alangkah lebih baik jika kepala dinas survey juga ke lapangan untuk mengetahui kondisi pendidikan di wilayah yang dia pimpin. ’’Kepala dinasnya sendiri tidak pernah ke Saonek. Padahal ini pulau paling dekat (dari pusat kantor dinas pendidikan),’’ ucapnya.

Saya sedih dengernya.

Jujur, menurut saya, anak-anak Papua itu pintar-pintar. Mereka bisa ‘mengalahkan’ anak-anak dari Pulau Jawa kalau memang mau dan ada kesempatan. Baik secara akademis maupun yang lainnya. Belum lagi sikap mereka yang santun. Duuh, Indonesia pasti akan sangat bangga.

Hanya saja, menurut saya kendala utamanya ada di insfrastruktur. Seperti kata teman saya Sylvie Tanaga, datang ke Papua kesannya satu: mereka seperti dibiarkan untuk bodoh. Padahal? Oh mereka pintar-pintar. Sangat cerdas. Plus santun. Kalau insfrastruktur di Papua sudah seperti di Pulau Jawa, wah bisa jadi Papua makin padat karena sasaran investasi dan SDM yang sudah baik.

Tapi memang setiap daerah berbeda-beda. Di Papua Barat yang sebagian besarnya daerah pesisir, penduduknya lebih welcome terhadap pendatang. Nggak heran kalau kamu main ke sana, pasti banyak ketemu orang Bugis, Maluku, Sulawesi, Ambon, bahkan orang dari Pulau Jawa. Belum lagi bule-bule yang datang untuk berwisata. Beda lagi kalau kamu main ke daerah pegunungan, seperti Jayawijaya dan sebagainya. Di sana malah ada daerah yang nggak tahu bahwa ada profesi bernama dokter di dunia ini. Saking jauhnya permukiman mereka dari peradaban.

Jadi kendala kedua itu adalah penduduknya sendiri. Ada yang menerima bantuan dari orang lain, ada juga yang menolak. Teman saya pernah cerita waktu datang ke daerah pelosok di Papua membawa buku-buku. Niatnya sebetulnya baik, untuk meningkatkan minat baca di sana. Tapi ditolak oleh penduduk setempat dengan kasar.

“Untuk apa kau datang bawa buku! Kitorang tak butuh buku! Kitorang butuh makan!” kata penduduk di sana sambil bawa parang.

Buset dah.

Serem ya.

Cuman ya itu dia. Bukan salah mereka tidak tahu pentingnya buku. Karena memang dari kecil tahunya hidup buat cari makan dan bertahan hidup di hutan atau gunung, bukan yang lain. Nah, tugas kita yang tinggal di Pulau lain di Indonesia untuk bisa membuat mereka berpikir mengenai pentingnya pendidikan. Caranya?
Itu PR bersama.

Kondisi sejumlah ruang kelas di SMPN 1 Saonek. Banyak yang hancur dan rusak, namun tidak ada tanda-tanda akan diperbaiki.


(*/bersambung)

No comments:

Post a Comment