Cerita dari Saonek (bagian 1)
’’IBU guru! Ibu guru! Begini kah?” tanya
seorang anak sambil menyodorkan selembar kertas. Saya baca sekilas, lalu
mengangguk. ’’Betul. Lanjutkan saja ya,” ucap saya. Si anak pun melanjutkan
menulis dengan semangat.
Sesi menulis "seandainya saya jadi kepala sekolah, saya akan..." di SMPN 1 Saonek. |
Saya nggak habis pikir. Kok bisa anak
SMP belum lancar menulis. Susunan kalimat sih lumayan, tapi penulisannya masih
banyak yang berantakan. Banyak huruf yang hilang atau bahkan bertambah.
Misalnya, sekian jadi sekiyan, kemudian dengan jadi degan. Ada
juga penulisan kata yang salah. Harusnya cendrawasih
jadi jendrawasi. Astaga, itu anak SMP
lho. ANAK S-M-P.
Belum selesai kaget saya, tulisan
anak-anak juga membuat saya terenyuh. Ada yang mengaku bosan dengan jam
pelajaran kosong, ingin ada guru agama Kristen, ingin ruang kelas diperbaiki.
Ada pula yang berharap bisa ikut perlombaan sekolah/ antar kelas, ikut OSIS
atau kegiatan pramuka. Bahkan, ada yang ingin sekedar menambah tanaman dan
bunga-bunga cantik untuk halaman sekolah.
Saya bisa bayangkan betapa membosankan
di sekolah jika kegiatan hanya belajar dengan diselingi jam-jam kosong. Which is membuat mereka malas sekolah
juga. Tapi, dari tulisan mereka saya menilai, anak-anak ini sebetulnya punya
keinginan belajar yang tinggi. Namun juga sadar, sekolah tidak atau belum bisa
memenuhi keinginan mereka. Ditambah gairah mengajar guru-gurunya yang rendah, bikin
bingung harus bagaimana.
***
Sebelumnya saya jelaskan dulu ya. Kedatangan
saya dan rekan yang lain ke Saonek, karena terpilih menjadi salah satu peserta
Menyapa Negeriku, tim Raja Ampat. Program ini diinisiasi oleh Kemenristek-Dikti
untuk sekaligus monitor evaluasi (monev) SM3T. Yakni, program Sarjana Mendidik
daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal. Setiap tim terdiri atas 3-5 peserta,
didampingi satu alumnus SM3T dan dua peninjau dari Dikti. Ada 44 orang yang
terpilih, termasuk saya. Peserta dipilih dari berbagai macam latar belakang.
Ada penari, pendongeng, guru, videografer, penulis, pesilat, dokter, relawan, mahasiswa
berprestasi dan lainnya. Saya sendiri salah satu dari kalangan jurnalis.
Menurut saya, wajar Dikti memilih
beberapa jurnalis jadi peserta. Mungkin maksudnya untuk keperluan publikasi
juga. Sekaligus membantu para jurnalis untuk membuat tulisan yang bagus dan
berbeda. Tapi kalau boleh jujur, saya sendiri tidak pernah terpikir akan
terpilih. Apalagi sampai harus ke Papua. Waduh, asli. Ini kebanyakan faktor
hoki dan takdir :D Soal pemilihan ini sudah saya tulis sebelumnya di sini.
***
Fokus saya di Saonek bukan sekedar
liputan. Saya ingin memotivasi anak-anak untuk menulis. Sebab, saya lihat
tingkat kepercayaan diri anak-anak Papua sangat rendah. Tak terkecuali di
Saonek. Ternyata setelah dicoba, cukup sulit memancing mereka berbicara di
depan teman-temannya sendiri. Bahkan untuk sekedar baca puisi atau perkenalan
menggunakan bahasa Inggris. Lebih mudah meminta mereka menulis dengan jaminan
tidak perlu dibacakan sendiri di depan kelas.
Salah satu murid SMPN 1 Saonek mencoba memperkenalkan diri menggunakan bahasa Inggris. Susah payah lho dia. Susah payah juga membujuk anak-anak supaya berani dan percaya diri. |
Usai sesi menulis berlangsung, saya
diberitahu oleh Asmardi, pendamping tim saya yang juga alumnus SM3T. Dia
bilang, anak-anak memang harus banyak dimotivasi. Jika mereka sudah berani ke
depan atau berbicara, jangan berkata salah walaupun mereka menjawab pertanyaan
salah.
’’Kalau dibilang salah, wah sudah saja
itu. Besoknya dia tidak mau sekolah lagi,’’ jelas As—panggilan akrabnya—dengan logat
timurnya yang khas.
Tapi uniknya, mereka jago bermain pantun
dan mob (sebutan warga setempat untuk stand up comedy). Meskipun mob seringkali
menggunakan bahasa lokal yang tidak saya mengerti, anak-anak terlihat sangat
terhibur. Sepertinya memang itu hiburan mereka di kampung, selain mancing dan
berolahraga. Di sana mau nonton tv/ denger radio, agak sulit. Soalnya pasokan listrik di Saonek sangat bergantung pada genset.
Dan genset bergantung pada solar. Sementara solar, hanya bisa dibeli pakai
uang. Sayangnya, tidak semua warga Saonek mampu beli solar dalam jumlah banyak
hanya demi genset.
***
Saonek’s Trivia
-
Selain
jago mob dan pantun, anak muda Saonek jago ngerap juga. Lagu See You Again-nya
Wiz Khalifa sering banget dinyanyiin anak setempat.
-
Di
Saonek sudah ada tower Telkomsel. Jadi kamu yang pelanggan Telkomsel, nggak
perlu khawatir soal sinyal.
-
Makanan
cuma ikan, telur ayam, dan sayur. Kadang ada tahu juga. Kalau ayam nggak ada.
Harus beli ke pasar. Dan ke pasar itu harus menyebrangi lautan, kira-kira 30
menit pakai perahu Bodi.
-
Sejauh
yang saya perhatikan, warga Saonek yang asli Papua tidak berwajah Papua. Tapi
cenderung mendekati ras negroid. Wajah mereka seperti orang Afrika, Malawi dan
Nigeria. Tapi namanya bernafaskan Islam. Seperti, Syawal, Syarifudin, Salman,
Alfaruk. Karena 90 persen warga Saonek menganut agama Islam.
*** bersambung
No comments:
Post a Comment