Pages

Sunday 22 December 2013

Kolom untuk Ibu



See the picture above? That’s me and my beautiful mother.

Sejak kecil, Ibu nggak pernah mengajarkan gue merayakan hari Ibu, bahkan hari ulangtahun. Bukan karena tidak tahu, atau tidak peduli, tapi Ibu memang termasuk orang yang cuek dengan hari-hari peringatan semacam itu. Bahkan, di hari ulangtahunnya pun, Ibu cuek aja sama ucapan dari anak-anaknya. No hugs, no shaking hand, just words. Dan setelah diselametin, Ibu hanya melempar senyum dikulum sambil melengos. Paling banter bilang makasih.

Yep, Ibu memang secuek itu.

But, she’s a nice lady. Dia selalu ingat sama ultah anak-anaknya, walaupun mengucapkan selamat hanya lewat SMS. Again, that’s her common. Ibu hanya akan telepon jika memang yang dibicarakan sangat penting. Misalnya: berita duka, berita keluarga, berita musibah, atau yah hal-hal semacam itu. Di luar itu, ya SMS.

Kadang, gue suka ngiri sama temen-temen lain. Mereka merayakan hari Ibu, hari jadi perkawinan, dan hari ulangtahun Ibu mereka dengan hal-hal yang intim. Beli kue-lah, kasih surprise, kasih kado. Tapi Ibu cenderung menolak pemberian anak-anak di hari-hari spesial. Beliau lebih suka menerima kado atau hadiah jika memang dia yang meminta. Contoh:
Ibu         : Teh, S****a lagi diskon lho, 50% sampai akhir tahun.
Gue         : Oh, yaudah nanti Teteh ke sana. Ibu mau apa?
Ibu         : Pengen kerudung item bahan satin. Eh sama pink juga, deh.
Gue         : Oke Bu.
Ibu kurang suka dikasih hadiah kalau skenarionya kayak gini:
Gue         : Bu, udah cek isi laci kamar? Itu ada kerudung buat Ibu. Selamat ulang tahun ya, Bu.
Ibu         : Oh itu dari Teteh? Beli di mana, Teh? Kok bahannya jelek gitu sih. Nanti kalau mau ngasih kerudung, belinya ajak-ajak Ibu dong.
Gue         : .....

Nasib punya Ibu jutek. Pfffttt.

Jutek, cuek, dan hampir masa bodo. Itu Ibu. Dalam hal memasak misalnya. Ibu cenderung cuek karena toh kalau laper, anaknya bakal nyari makan sendiri. Tapi cueknya beliau karena memang nggak bisa masak. Sebab dari lulus sekolah, langsung jadi wanita karir, sehingga waktu luang dipakai untuk istirahat. Kalau masak, pakai buku panduan atau tanya-tanya dulu ke orang lebih ngerti. That’s why Ibu nggak mengajari gue masak. Sempet sedih sih, tapi akhirnya gue mikir.

Mungkin Ibu memang tidak mengajari gue masak, tapi dari beliau, gue belajar kemandirian.
Dari kelas 1 SD, gue diajarin pulang sekolah dan jemput adek pulang sekolah sendiri.
Dari kelas 3 SD, gue diajarin bikin makan siang sendiri dan cuci piring sendiri.
Dari kelas 5 SD, gue diajarin tidur sendiri.
Dari SMP, gue diajarin nyuci sendiri, nyetrika sendiri, pake kerudung sendiri.
Dari SMA, gue diajarin pergi-pergi sendiri, pulang malem sendiri, cari pacar sendiri (lho?).
Dari kuliah, gue diajarin cari duit sendiri.
Dari lulus kuliah, gue diajarin tinggal mandiri tanpa campur tangan orangtua.

It’s not because she hates me or she wanted me to do that. It’s more of, she shows me how to be an indipendent woman by letting me be. Beliau selalu mengerti keputusan yang dipilih anak-anaknya, and that’s how I respect her. She didn’t pushed me to be anything she wants, she just let me be what I want.

Misalnya, Ibu nggak pernah melarang gue beli buku banyak-banyak, atau memaksa gue memilih jurusan kuliah sesuai keinginannya dia. Dan Ibu juga nggak pernah membatasi pertemanan gue. She trusted me. She has an awesome personality in a different way, and I love it.

Hasilnya, gue nggak terlalu bergantung pada orangtua. No offense, but I have many friends who still supported by their parents, financially, physically, and emotionally. No offense again, tapi gue merasa umur segini udah semestinya support orangtua. Financially, physically, and emotionally.
Walaupun hubungan gue dan Ibu tidak sedekat hubungan gue dan almarhum Ayah, but yeah, she’s my mother, my hero, my friend—and I love her!

Thank you for reading, and Happy Mother’s Day! :)

No comments:

Post a Comment