Pages

Monday 22 December 2014

Tujuh Jam Bersama Ibu



AKU terbangun oleh suara handphone yang nyaring. Kulirik jam, baru pukul 09.10. Di layar ponsel tertera nomor Ibu. Aku segera mengangkatnya.

“Ya, Bu?”
“Teteh di mana? Ibu udah di depan. Lupa lagi tempatnya,”
“Iya bentar Teteh susul Ibu ke bawah,”

Aku lari ke kamar mandi. Hanya untuk cuci muka dan gosok gigi, lalu menyambar kerudung serta baju. Menuju lantai bawah. Dari kejauhan, aku melihat Ibu. Mengenakan baju gamis berwarna oranye dan hitam. Itu baju yang aku belikan untuknya dua tahun lalu. Belum sempat mencium tangan, tanganku dipukulnya pelan. “Lama ih, Ibu nungguin dari tadi,” ujarnya. “Iya maaf bu,” sahutku sambil tertawa kecil. Aku tak berani bilang bahwa aku baru bangun tidur saat Ibu menelepon.

Kala itu hari Minggu. Aku sudah janji mengajak Ibu ke Daarut Tauhid, Gegerkalong Bandung. Ibuku tidak punya banyak waktu luang untuk pergi-pergian, sehingga dia benar-benar memanfaatkan hari liburnya itu untuk menemuiku. Menyadari hal ini, aku sedikit malu. Sebab, aku lupa kapan terakhir kali memanfaatkan waktu liburku untuk menemui Ibu yang berjarak tak lebih dari 30 kilometer dari tempatku tinggal.

Tiba di tempat tinggalku, Ibu mengeluarkan wadah makanan. Isinya ikan mentah. “Ibu bawa ini untuk dimasak di sini. Kamu sudah makan?” tanyanya. Kulihat mata Ibu tetap teduh seperti dulu. Tidak berubah. “Udah makan belum?” ulangnya, hampir mengagetkanku. Kujawab, “Belum,”. Lalu kami makan bersama.

Setelah makan, Ibu merapikan dandanannya dan kami berangkat ke Gegerkalong. Hari itu, semuanya kami lakukan bersama-sama—mengaji, makan, belanja, beli jus buah—apapun itu. Kau tahu, momen berdua dengan Ibu seperti ini memang sudah lama kurindukan. Pekerjaanku yang padat membuatku sulit berlama-lama dengan Ibu. Bahkan, hari itu kami hanya bersama beberapa jam. Siang menuju sore, karena—lagi-lagi—aku harus masuk kerja.

Aku sempat berpikir, kuharap Ibu tidak keberatan aku tinggal kerja, karena toh hasil kerjaku untuk Ibu juga. Tapi kemudian aku berpikir lebih jauh. Bagaimana jika aku sudah jadi Ibu nanti, anakku lebih sibuk bekerja ketimbang menghabiskan waktu bersamaku? Apa aku akan menerimanya begitu saja?

Tentu saja aku akan protes.

Aku tidak keberatan jika anakku bersusah-susah saat kuliah, lalu bekerja magang sampai lelah. Supaya dia mengerti arti kerja keras. Tapi lain ceritanya jika dia harus bekerja hingga larut malam, kemudian tidur selepas adzan subuh berkumandang. Seperti aku.

Pikiranku jadi ke mana-mana. Aku suka pekerjaan ini. Aku memang mengikuti passion. Tapi waktu untuk Ibu jadi berkurang. Kau tahu, saat ini hanya dia orangtua kandung yang aku punya. Karena aku tidak terlalu dekat dengan ayah tiriku.

“Teh, ini apa?” pertanyaan Ibu membuyarkan lamunanku. Dia menunjuk bando berwarna pink, berhiaskan bunga-bunga di sekitarnya. “Itu untuk hiasan kepala aja, Bu,” jawabku. Ibu masih menelitinya. “Terus ditempel di mana? Gini?” ujarnya seraya memakai hiasan itu seperti bando, hampir mematahkannya.

“Bukan, bu,” sahutku sambil memegang tangannya. Sedikit kasar. Ah, pasti Ibu bekerja keras mengerjakan tugas-tugas rumah sendirian. Aku jadi merasa bersalah. Kutuntun tangan Ibu ke atas kepalanya, dan meletakkan hiasan itu seperti mahkota. “Oooh..” ucapnya.

***

Aku jadi ingat pertama kali dipakaikan kerudung oleh Ibu. Sebetulnya aku hanya ingat samar-samar. Saat itu, aku baru kelas tiga SD. Hendak pergi ke sekolah. Kala sedang melihat diri di pantulan cermin, tiba-tiba Ibu datang.

“Nggak suka ya? Rambutnya kependekan?” tanya dia.
“Iya,” singkatku sembari cemberut.
“Pakai ini aja,” ucapnya sambil memakaikan kerudung putih bertali di kepalaku. Sejak hari itu, aku ke sekolah menggunakan kerudung.

Menurutku, awalnya memang kurang baik. Menggunakan kerudung untuk menutupi kekurangan akibat potongan rambut yang salah. Tapi kurasa bukan itu esensinya. Daripada memberi topi, Ibu lebih memilih kerudung untukku. Padahal, umur segitu aku tidak suka menggunakan atribut atau pakaian perempuan. Punya adik laki-laki memang kadang membuatmu harus bertingkah seperti laki-laki. Untuk menjaga mereka. Setidaknya itu yang kurasakan.

Jadi nyambung ke mana-mana ya.

*** 

Hari itu, aku bersama Ibu hanya sekitar tujuh jam. Rasanya tidak tega melihat Ibu pulang ke rumah sendirian. Tapi akhirnya kurelakan juga dengan melambaikan tangan sebelum aku menyebrang jalan.
Aku sebetulnya sering iri melihat teman-teman yang ke mana-mana ditemani ibunya. Misalnya, saat aku beberapa kali ikut pemotretan. Model-model lain sering ditemani ibunya. Bahkan, saat ganti baju sekalipun. Memang aku terbiasa mandiri sejak kecil. Tapi terkadang hal ini membuatku cemburu. Yah, kurasa semua ada hikmahnya. Bisa jadi aku tidak semandiri ini jika terus ditemani ibu ke mana-mana.

However, I love my mother. Always. 

No comments:

Post a Comment