Pages

Sunday 13 December 2015

Keinginan vs Kenyataan

Cerita dari Saonek (bagian 1)


’’IBU guru! Ibu guru! Begini kah?” tanya seorang anak sambil menyodorkan selembar kertas. Saya baca sekilas, lalu mengangguk. ’’Betul. Lanjutkan saja ya,” ucap saya. Si anak pun melanjutkan menulis dengan semangat.

Sesi menulis "seandainya saya jadi kepala sekolah, saya akan..." di SMPN 1 Saonek.

Hari itu, saya berkesempatan meminta murid SMPN 1 Saonek, Kabupaten Raja Ampat, untuk menulis seandainya mereka jadi kepala sekolah. Hasilnya mencengangkan. Banyak keluhan yang terungkap. Banyak pula kesalahan penulisan yang fatal.

Saya nggak habis pikir. Kok bisa anak SMP belum lancar menulis. Susunan kalimat sih lumayan, tapi penulisannya masih banyak yang berantakan. Banyak huruf yang hilang atau bahkan bertambah. Misalnya, sekian jadi sekiyan, kemudian dengan jadi degan. Ada juga penulisan kata yang salah. Harusnya cendrawasih jadi jendrawasi. Astaga, itu anak SMP lho. ANAK S-M-P.

Belum selesai kaget saya, tulisan anak-anak juga membuat saya terenyuh. Ada yang mengaku bosan dengan jam pelajaran kosong, ingin ada guru agama Kristen, ingin ruang kelas diperbaiki. Ada pula yang berharap bisa ikut perlombaan sekolah/ antar kelas, ikut OSIS atau kegiatan pramuka. Bahkan, ada yang ingin sekedar menambah tanaman dan bunga-bunga cantik untuk halaman sekolah.

Saya bisa bayangkan betapa membosankan di sekolah jika kegiatan hanya belajar dengan diselingi jam-jam kosong. Which is membuat mereka malas sekolah juga. Tapi, dari tulisan mereka saya menilai, anak-anak ini sebetulnya punya keinginan belajar yang tinggi. Namun juga sadar, sekolah tidak atau belum bisa memenuhi keinginan mereka. Ditambah gairah mengajar guru-gurunya yang rendah, bikin bingung harus bagaimana.

***

Sebelumnya saya jelaskan dulu ya. Kedatangan saya dan rekan yang lain ke Saonek, karena terpilih menjadi salah satu peserta Menyapa Negeriku, tim Raja Ampat. Program ini diinisiasi oleh Kemenristek-Dikti untuk sekaligus monitor evaluasi (monev) SM3T. Yakni, program Sarjana Mendidik daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal. Setiap tim terdiri atas 3-5 peserta, didampingi satu alumnus SM3T dan dua peninjau dari Dikti. Ada 44 orang yang terpilih, termasuk saya. Peserta dipilih dari berbagai macam latar belakang. Ada penari, pendongeng, guru, videografer, penulis, pesilat, dokter, relawan, mahasiswa berprestasi dan lainnya. Saya sendiri salah satu dari kalangan jurnalis.

Dari kiri atas, Bernadette atau Bebe (guru di Kanada/ peserta), saya, Asmardi (pendamping/ alumnus SM3T), Pak Wes (peninjau dari Dikti), dan salah satu pejabat Dikti. Dari kiri bawah, Dito (dokter umum/ peserta), Dirjen Dikti Ali Ghufron, Menristek-Dikti M Nasir, Kadek (mahasiswa/ peserta), dan Kabag Perencanaan dan Anggaran Kemenristek-Dikti Agus Susilohadi.

Menurut saya, wajar Dikti memilih beberapa jurnalis jadi peserta. Mungkin maksudnya untuk keperluan publikasi juga. Sekaligus membantu para jurnalis untuk membuat tulisan yang bagus dan berbeda. Tapi kalau boleh jujur, saya sendiri tidak pernah terpikir akan terpilih. Apalagi sampai harus ke Papua. Waduh, asli. Ini kebanyakan faktor hoki dan takdir :D Soal pemilihan ini sudah saya tulis sebelumnya di sini.

***

Fokus saya di Saonek bukan sekedar liputan. Saya ingin memotivasi anak-anak untuk menulis. Sebab, saya lihat tingkat kepercayaan diri anak-anak Papua sangat rendah. Tak terkecuali di Saonek. Ternyata setelah dicoba, cukup sulit memancing mereka berbicara di depan teman-temannya sendiri. Bahkan untuk sekedar baca puisi atau perkenalan menggunakan bahasa Inggris. Lebih mudah meminta mereka menulis dengan jaminan tidak perlu dibacakan sendiri di depan kelas.


Salah satu murid SMPN 1 Saonek mencoba memperkenalkan diri menggunakan bahasa Inggris. Susah payah lho dia. Susah payah juga membujuk anak-anak supaya berani dan percaya diri.

Usai sesi menulis berlangsung, saya diberitahu oleh Asmardi, pendamping tim saya yang juga alumnus SM3T. Dia bilang, anak-anak memang harus banyak dimotivasi. Jika mereka sudah berani ke depan atau berbicara, jangan berkata salah walaupun mereka menjawab pertanyaan salah.

’’Kalau dibilang salah, wah sudah saja itu. Besoknya dia tidak mau sekolah lagi,’’ jelas As—panggilan akrabnya—dengan logat timurnya yang khas.

Tapi uniknya, mereka jago bermain pantun dan mob (sebutan warga setempat untuk stand up comedy). Meskipun mob seringkali menggunakan bahasa lokal yang tidak saya mengerti, anak-anak terlihat sangat terhibur. Sepertinya memang itu hiburan mereka di kampung, selain mancing dan berolahraga. Di sana mau nonton tv/ denger radio, agak sulit. Soalnya pasokan listrik di Saonek sangat bergantung pada genset. Dan genset bergantung pada solar. Sementara solar, hanya bisa dibeli pakai uang. Sayangnya, tidak semua warga Saonek mampu beli solar dalam jumlah banyak hanya demi genset.

***
Saonek’s Trivia
-        Selain jago mob dan pantun, anak muda Saonek jago ngerap juga. Lagu See You Again-nya Wiz Khalifa sering banget dinyanyiin anak setempat.
-        Di Saonek sudah ada tower Telkomsel. Jadi kamu yang pelanggan Telkomsel, nggak perlu khawatir soal sinyal.
-        Makanan cuma ikan, telur ayam, dan sayur. Kadang ada tahu juga. Kalau ayam nggak ada. Harus beli ke pasar. Dan ke pasar itu harus menyebrangi lautan, kira-kira 30 menit pakai perahu Bodi.
-        Sejauh yang saya perhatikan, warga Saonek yang asli Papua tidak berwajah Papua. Tapi cenderung mendekati ras negroid. Wajah mereka seperti orang Afrika, Malawi dan Nigeria. Tapi namanya bernafaskan Islam. Seperti, Syawal, Syarifudin, Salman, Alfaruk. Karena 90 persen warga Saonek menganut agama Islam.

*** bersambung 

No comments:

Post a Comment