Pages

Thursday 17 December 2015

Pulau tanpa Dokter

Cerita dari Saonek (bagian 2)

SUARA genset menderu dari kejauhan. Lampu-lampu kemudian menyala. Setiap anggota tim Menyapa Negeriku langsung memburu stop kontak yang kosong untuk mengisi daya ponsel atau laptop. Seketika semua colokan penuh.

Sumber listrik diburu, karena tidak menyala setiap waktu. Genset juga hanya digunakan dalam kurun waktu tertentu—jam 18.00 sampai jam 24.00 saja. Selebihnya, ya tanpa listrik.

Seorang anak mengendara sepeda menuju sekolahnya. Di Saonek, transportasi utama hanya sepeda dan motor. Tapi rata-rata warga setempat lebih suka jalan kaki.
Begitulah hari-hari kami di Pulau Saonek, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Listrik seolah jadi fasilitas mewah di sana. Sebab, tak semua warga bisa menggunakannya. Hanya terbatas pemilik genset dan yang mampu beli solarnya. Mesin umum—sebutan warga lokal untuk genset—juga hanya digunakan untuk rumah ibadah atau sekolah. Itupun penggunaannya sama, tidak 24 jam penuh.

Begitu mengetahui keterbatasan ini, saya sama sekali tidak merasa keberatan. Padahal jujur saja, saya sendiri mengira tidak akan dapat listrik sama sekali. Begini saja rasanya sudah lebih dari cukup. Terlebih, perjalanan kami menuju Pulau Saonek tidak terlalu berat. Saya bersama tim hanya perlu naik pesawat dua kali. Lanjut menggunakan transportasi darat menuju Pelabuhan untuk naik kapal fery. Setelah itu, pakai mobil ke pesisir untuk naik perahu menuju Pulau Saonek.

Di sana, ada tiga jenis perahu. Speed, Bodi, dan Katingting. Sepit—sebutan warga lokal untuk Speed—bentuknya lebih besar dan punya ‘atap’. Muat sekitar 20 orang. Menggunakan dua mesin dan biasanya digunakan untuk wisata. Kemudian Bodi, ukurannya lebih kecil. Tapi bisa muat 20 orang kalau mau berdesakan. Pakai satu mesin, biasa digunakan untuk pergi ke Waisai (Kota). Terakhir, Katingting. Sering digunakan warga setempat ke kota juga. Tapi perahu yang ini lebih seram, karena sering miring-miring gitu.

Salah satu rombongan wisatawan dari Waisai melewati Pulau Saonek untuk menuju tempat wisata di Raja Ampat, Papua Barat, menggunakan Speed.
Di tengah segala fakta bahwa Saonek itu pulau terpencil, saya sangat bersyukur. Sebab, kalau dengar teman-teman yang ditugaskan di wilayah Papua lain, kayaknya berat banget. Misalnya nih, Teluk Bintuni. Mereka katanya harus menyebrangi sungai yang banyak buaya dan ularnya. Harus jalan kaki dua kilometer sambil bawa logistik/ koper/ backpack. Terus harus offroad sekitar satu jam bonus cipratan lumpur.

Lain lagi dengan tim Anambas. Waktu nyebrang laut China Selatan, mesin sempat mati tiga jam. Yang tugas di Sorong juga tantangannya beda. Kalau mandi harus di kali, karena itu satu-satunya sumber air. Terbuka gitu mandinya.

Kami yang di Raja Ampat mendingan. Meskipun kamar mandi cuma satu, airnya kenceng. Nggak pernah macet dan bersih. Walaupun kadang harus gelap-gelapan, karena pas mandi nggak ada listrik.

Sore pertama di Saonek, saya habiskan dengan berkeliling pantai. Bertemu dengan warga setempat, menyapa, dan sesekali berhenti untuk memperkenalkan diri. Baru pada malam hari, rombongan Menyapa Negeriku bertandang ke rumah Kepala Kampung Pulau Saonek, Haji Husein M. Perlu diketahui, Haji di Papua merupakan salah satu nama marga. Bukan berarti dia sudah berhaji ke Tanah Suci.

Meski begitu, penduduk Pulau Saonek mayoritas beragama Islam. Sisanya, nasrani. Mengetahui hal ini saya agak kaget. Sebab, saya jarang menemui orang Papua yang beragama Islam. Tapi, di pulau ini juga tidak semua berdarah Papua. Banyak pendatang dari Pulau Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Tapi toh tidak masalah, karena di Saonek, apapun agama dan sukunya, setiap warga berdampingan dengan baik.


Tim Menyapa Negeriku Raja Ampat saat bertandang ke rumah Kepala Kampung Saonek, Haji Husen Mameraku.
Menurut Husein, Saonek memang harus mengejar ketertinggalan. Terutama, di bidang pendidikan dan kesehatan. Jelas saja, Puskesmas setempat jarang buka, karena tenaga medisnya tidak ada. Dia menyebut, dulu sempat ada dua dokter yang dinas di sana. Namun, setelah beberapa minggu, sang dokter tidak balik lagi. ’’Di sini mereka tidak diberi rumah dinas. Dan juga jauh ke mana-mana. Mungkin tidak betah,’’ kata Husein.

Meski begitu, tingkat kesehatan warga Saonek cukup baik. Saat ini sudah jarang ada warga yang terkena penyakit malaria. Sayangnya, selama tiga hari kami di sana, Puskesmas selalu tutup. Bahkan, tidak ada aktivitas sama sekali.
***bersambung

Saonek Trivia:
-        Harga cemilan dan air kemasan di Saonek masih masuk akal. Ya, dua kali lipat dari harga di Pulau Jawa lah. Jauh sama yang di daerah Papua lainnya yang bisa mencapai 15 kali harga Pulau Jawa. Air kemasan gelas aja bisa sampai Rp 15 ribu satunya. Iya sama, saya juga kaget.
-        Seingat saya tidak ada mobil di Saonek. Karena memang jalannya kecil. Paling hanya motor atau sepeda. Tapi kebanyakan jalan kaki. Kalau anak-anak seringnya saya lihat mereka telanjang kaki ke mana-mana, kecuali ke sekolah.
-        Banyak pendatang di Saonek. Rata-rata dari Makassar dan Maluku. Dari Pulau Jawa juga banyak. Tapi warga Saonek asli selalu welcome sama pendatang.
-  Di sana minuman paling terkenal namanya Kesu. Kelapa Susu. Jadi, air kelapa dicampur susu, sirup sama es batu. Kelapanya metik sendiri. Seger banget daaah.

No comments:

Post a Comment